Banten-News | Democracy | Jakarta
Legislator menyebut sistem rekrutmen calon pempimpin oleh parpol menjadi salah satu sumber penyebab munculnya dinasti politik daerah kendati hal ini bukanlah fenomena baru karena di manca negara juga terjadi dan di Indonesia sudah ada sejak diterapkan rezim pilkada langsung 2005.
Dinasti politik tersebut sudah terjadi di 4 putaran pilkada langsung, kemunculannya dimulai sejak pilkada langsung putaran pertama dilaksanakan. Demikian diutarakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa, dalam acara diskusi Forum Legislasi yang digelar di Media Center DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa .
“Fenomena dinasti politik tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di negara-negara lainnya yang demokrasinya jauh lebih maju daripada Indonesia. Hanya saja, bagaimana upaya yang harus dilakukan guna membentengi agar praktek politik dinasti ini tidak mereduksi kualitas personal calon pemimpin daerah itu sendiri,” ujar politisi Partai Nasdem ini.
Saan juga memberikan beberapa catatan penting terkait hal tersebut. Pertama, masalah kepartaian politik di Indonesia. Menurutnya, sumber utama lahirnya dinasti politik kepala daerah, karena sistem rekrutmennya berada di tangan partai politik.
“Dalam menjalankan fungsi rekrutmen politik, baik di eksekutif atau legislatif, parpol turut mempengaruhi muncul atau tidaknya dinasti tersebut. Proses rekrutmen politik yang dilakukan oleh partai-partai politik itu jadi bagian penting yang harus dipikirkan bersama. Kalau memang hal ini tidak bisa dihindari oleh partai politik, minimal tidak mengabaikan apa yang namanya kompetensi seorang calon. Tidak semata-mata ketika orang yang tidak punya track record politik ataupun pernah mengemban jabatan-jabatan publik muncul sebagai calon,” tutur pria yang akrab dipanggil Kang Saan itu.
Tidak hanya soal rekrutmen, hal ini juga terkait dengan Undang-undang Pilkada. Sejak Pilkada langsung tahun 2005 hingga saat ini, proses mendapatkan dukungan maju sebagai calon kepada daerah baik itu gubernur, bupati, dan wali kota harus dengan syarat dukungan 20 persen. Dengan kondisi negara kita yang multi partai ini, maka distribusi suara dan kursi hasil pemilu sangat tipis sekali karena distribusinya terbagi ke banyak partai.
Hal itu tentu pasti sangat sulit bagi seorang calon guna mendapatkan proses dukungan politik dikarenakan terlalu banyak partai, dan hal itu jadi tidaklah mudah. Disadari atau tidak, lanjut dia, untuk mendapatkan dukungan itu juga rumit karena harus dari banyak partai, tapi ada juga yang namanya ‘pasar gelap’, yang notabene masalah ‘pasar gelap’ ini tidak diatur dalam UU Pilkada.
Adanya pasar gelap akan mempersulit situasi bagi munculnya calon-calon yang mempunyai kualifikasi yang memadai untuk jadi kepala daerah. Bahkan, diperlukan biaya tinggi untuk dapat dukungan politik dengan kondisi multi partai seperti saat ini.
“Oleh karena itu, ke depannya kita harus pikirkan UU Pilkada yang ramah bagi calon-calon kepala daerah yang memiliki kapasitas serta kapabilitas politik yang memadai dan mempunyai komitmen tinggi dengan kepentingan masyarakat banyak itu mempunyai kemudahan dalam proses pencalonan dirinya tersebut, termasuk dengan menurunkan syarat dukungan dari 20 ke 10 persen,” pungkasnya. (redksi24.com)