Banten-News | Column | Jakarta
Oleh : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute
Dalam Kuliah Umum tentang geopolitik dan Perang Asimetris terkait dampaknya di sektor pangan negeri kita. Saya mengajukan beberapa catatan mengenai topik ini.
Seperti kita tahu, selain energi, pangan merupakan salah satu sektor strategis yang harus dikuasai. Seperti kata Henry Kissinger, kalau mau menguasai negara, kuasai energinya, kalau mau kuasa rakyat, kuasai sektor pangannya.
Sejak skema korporasi global mempengaruhi pengambilan keputusan dalam sektor pertanian dan mengabaikan aspirasi para petani, maka pertanian tidak lagi dipandang dan dirasakan oleh anak negeri sebagai kebudayaan bercocok tanam melainkan bisnis.
Betapa tidak. Sejak skema pembenihan pun sudah diatur korporasi atau perusahaan multinasional. Saat ini kartel domestik pada industri benih dirancang oleh World Economic Forum Sustainabe Agriculture (WEFPISA). Yang mana forum ini beranggotakan beberapa perusahaan multinasional yang menyasar pasar benih dan pangan di Indonesia.
Kartel internasional dan nasional oada sektor pangan mengendalikan harga, stok/ketersediaan, dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri.
Studi yang pernah dilansir Global Future Institute pada 2012 misalnya, setidaknya ada 12 perusahaan multinasional yang terlibat kartel serealia(biji-bijian), agrokimia dan bibit tanaman pangan.
Di dalam negeri ada 11 perusahaan multinasional dan 6 pengusaha yang menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, dan gula. 4 pedagang besar menguasai perdagangan serealia atau biji-bijian. Adapun dalam bidang agrokimia, ada 6 perusahaan multinasional yang menguasainya seperti Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF. Mereka menguasai 75 persen pasar global.
Dalam industri bibit dikuasai 4 perusahaan multinasional seperti Monsanto, Dupont, Syngenta, Lamagrain. Mereka menguasai 50 persen perdagangan bibit global.
Saat ini, 9 komoditas pangan nasional kita hampir semua impor. Gandum dan terigu saat ini 100 persen impor. Bawang putih, 90 persen impor. Kedelai 65 persen. Daging sapi 36 persen. Bibit ayam ras 100 persen. Garam 70 persen.
Alhasil, pertanian kita dikuasai segelintir pebisnis yang punya kuasa pada sistem monopoli dalam sistem perbenihan, sistem bercocok tanam dan bahkan dalam corak masyarakatnya juga(budaya).
Adanya UU Pangan No 7/1996 maupun UU No 18/2012, yang spiritnya sebagai payung hukum bagi negara untuk melindungi petani, secara de fakto malah memihak korporasi dan kartel pangan global dan merugikan petani dan sektor pertanian.
Saatnya para pemangku kepentingan/stakeholders pertanian, duduk bersama satu meja, menyusun sebuah kontra skema, menghadapi arus globalisasi dan modernisasi, yang dibelakangnya mendompleng kepentingan imperialisme dan kolonialisme gaya baru yang sifat peperangan yang dilancarkannya bersifat nirmiliter.
Maka itu, untuk membangun ketahanan pangan berbasis sumberdaya dan kearifan lokal, kiranya perlu dirumuskan dalam kerangka yang lebih skematik dan strategis.